Pikirku doi istimewa, setelah berkelana ada yang jauh lebih istimewa darinya, apa itu? Jogja Istimewa.
20 tahun hidup di satu pulau bagian timur Indonesia, tumbuh berkembang di lingkup masyarakat yang cukup individualis dan berwatak keras. Namun, setelah memasuki tahun ke dua menjadi mahasiswa rantau di kota Istimewa mampu mengubah wajah judes dan suara ketus menjadi lebih lembut dan sedikit beradab akhlaknya. Jogja erat akan budaya dan tata krama, pikirku pernyataan tersebut hanya cerita di televisi saja. Faktanya, Jogja adalah kota pusat warisan budaya, khususnya keraton, tamansari, prambanan dan masih banyak lagi warisan budaya lainnya. Warga Jogja sangat menjunjung tinggi adab dan tata krama.
5 Culture Shock Mahasiswa Rantau Indonesia Timur di Jogja
1. Kebiasaan menganggukan kepala
Salah satu kebiasaan warga Jogja yang terkesan aneh bagi pendatang adalah kebiasaan menganggukkan kepala sambil tersenyum dan mengucap kata “monggo” saat berpapasan dengan orang lain. Hal tersebut lumrah dan bisa jadi wajib dilakukan oleh setiap individu warga Jogja saat bertemu orang lain. Kebiasaan menganggukan kepala sepertinya merupakan warisan turun temurun dalam bertata krama bagi warga Jogja. Bagaimana tidak? hanya sekedar jalan kaki menelusuri gang-gang sempit, sudah berapa banyak orang yang memberi sapaan menganggukan kepala sambil berucap “monggooo” mulai dari mbak bakul jamu, mamang sayur keliling, bapak-bapak sarungan yang menjemur burungnya, dan semua orang yang ditemui di jalan. Sebagai mahasiswa rantau yang pernah tinggal dalam lingkungan individualis melihat kebiasaan tersebut membuat kami bingung dalam memberikan respon. Awalnya, hanya membalas dengan anggukan kasar saja “ya bagaimana ya kan kita tidak saling kenal” ucap mahasiswa rantau dalam hati. Tetapi, setelah beradaptasi melihat sekeliling akhirnya bisa memberikan respon dalam bentuk kata “dalem” atau “nggih” kadang pula “monggo” tergantung suasana hati kala itu. Warga Jogja level ramahnya sungguh sangat tidak masuk akal. Mereka memperlakukan semua orang dengan baik dan istimewa sesuai dengan julukan kota tersebut “Jogja Istimewa”.
2. Kota "1000 cafe"
Oh ya, satu lagi julukan yang bisa diberikan untuk Jogja adalah “kota 1000 cafe”. Cafe-cafe di Jogja bak warung kelontong, tidak perlu bersusah payah mencarinya. beberapa meter dari jangkauan pasti akan ada cafe dan setiap minggu selalu ada saja cafe baru yang buka. Jadi, mau pilih cafe yang mana? yang aestetik, bintang lima, murah? sesuaikan saja dengan dompet. Pengunjung cafe paling banyak adalah mahasiswa biasanya tempat mereka untuk mengerjakan kewajiban kuliah, jadi tak perlu khawatir masalah harga menunya.
3. Petunjuk jalan menggunakan arah mata angin
Selain itu, culture shock tinggal di Jogja adalah memberitahu alamat atau arah jalan menggunakan arah mata angin timur, utara, barat, dan selatan. Padahal kan bisa dengan memberikan petunjuk arah kanan, kiri, atau patokan bangunan tertentu untuk memudahkan. Sudah pusing mencari alamat malah tambah pusing tujuh keliling harus memikirkan arah mata angin yang tepat. Selama menjadi mahasiswa rantau agaknya belum lulus dalam memahami arah jalan menggunakan arah mata angin.
4. Semua makanan rasanya manis
Sebagai pendatang baru di kota Jogja, hal aneh lainnya adalah masalah makanan. Pertama kali datang dan mencicipi makanan, semua makanan rasanya manis di lidah. Suatu hari pernah pesan ayam kecap di warung, saat dicicipi rasa ayamnya sangat manis sekali seperti kolak. Mungkin kolak ayam? mencoba menetralisir rasa manis dengan menambahkan sambal malah rasa sambalnya juga manis jadi semakin manis. Masih sangat wajar mungkin karena kecapnya yang manis atau kebanyakan. Tapi yang paling aneh adalah saat mencicipi sayur asem. Sesuai dengan judul makanan sayur asem kan asem-asem seger, tetapi di Jogja sayur asem itu rasanya manis. Hal tersebut bukan masalah besar, hanya perbedaan selera makan saja.
5. Warga Jogja tertib lalu lintas
Salah satu kebiasaan dari warga Jogja yang patut diapresiasi dan wajib dijadikan contoh kota-kota lain adalah masalah lalu lintasnya. Mereka sangat tertib dalam berlalu lintas, kemudian paham fungsi zebra cross dan lampu merah. Bahkan yang paling aneh adalah sedikitpun dalam berlalu lintas rasanya jarang mendengar bunyi klakson di jalanan. Tapi, sekali saja membunyikan klakson saat baru lampu hijau, tunggulah semua mata akan menuju padamu dan yang seperti itu biasanya wisatawan atau warga pedatang baru bukan asli Jogja. Bagi warga Jogja mungkin klakson hanya digunakan untuk menyapa orang yang mereka kenal saja di jalan? Jadi, kapan ke Jogja?
Daerah jawa khususnya Bagian jogja
BalasHapusDaerah jawa khususnya bagian Jogja memang sangat terkenal dengan kesopanan dan tata kerama sehingga masyarakat disana pun khususnya mahasiswa di luar daerah merasa nyaman tinggal jogja.👍
BalasHapusSoal makanan ga usah di ragukan harganya sangat murah dan pas
BalasHapus